Senin, 25 Juni 2012

PEMIKIRAN TEOLOGI AL-QADARIYAH

Diposting oleh Unknown di 05.30

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
            Faham Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa Arab, Manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak azal terhadap dirinya. Adapun dalam faham Qadariyah, Takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak azal.
            Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Aliran qadariyah menyatakan bahwa semua tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri, Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk. Karena itu,
Ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula menerima hukuman atas kejahatan yang dilakukannya.

B.     Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang diatas,kita dapat mengambil beberapa Rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:
1.     Apa pengertian dari faham qadariyah?
2.     Jelaskan Asal-usul munculnya faham qadariyah?
3.     Jelaskan Doktrin-doktrin yang terkandung dalam faham qadariyah?

C.     Tujuan
1.     Agar dapat memahami dan mengerti pengertian dari faham qadariyah
2.     Agar dapat mengerti asal-usul faham qadariyah
3.     Agar dapat mengetahui doktrin-doktrin faham qadariyah


BAB II
PEMBAHASAN
A.QADARIYAH
1.    Pengertian dan Asal Usul Kemunculan Qadariyah
            Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.[1] Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya: Ia dapat  berbuat sesuatu  atau meninggalkannya  atas kehendaknya sendiri.[2]  Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi  penekanan atas kebebasan dan  kekuatan manusia dalam mewujudkan  perbuatan-perbuatannya. Dalam Hal ini Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa  manusia mempunyai qudrah  atu kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[3]
            Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.[4] Menurut Ahmad Amin, Sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.[5] Hadits itu berbunyi:
ا لقدرية مجوس هذه الأمة                                                   
Artinya: “ Kaum Qadariyah adalah majusiyah umat ini.[6]
            Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimassyqy.[7] Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri.[8] Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maulana Usman bin Affan.[9]
            Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti  dikutip Ahmad Amin, memberikan informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah  adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Maka dari sinilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini .[10]
            Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al Basri percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk.[11]
            Ma’bad Al Juhaini dan Ghailan ad-Dimasyqi,menurut Watt,adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri.[12] Kalau dihubungkan  dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’ti’dal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibn Nabatah dalam Syahrul Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang Irak Kristen yang masuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah rekayasa yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan fikiran Qadariyah.
            Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya faham qadariyah muncul, ada baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Banyak peneliti yang tidak menyetujui mengenai hal ini di karenakan penganut Qadariyah pada saat itu terlalu banyak. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat ini di perkuat oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari Irak yang telah masuk Islam dan pendapatnya itu di ambil oleh Ma’bad Al-Juhaini dan Ghailan Ad-Dimasyqi. Sedangkan ada yang berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak di pekerjakan di Istana-istana Khalifah pada saat itu.[13]
            Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam pada saat itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, Karena masyarakat Arab sebelum Islam Kelihatanya dipengaruhi oleh faham fatalis. Pada saat itu kehidupan bangsa Arab mengalami kepayahan. Mereka pada saat itu hidup dengan sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang di timbulkan oleh alam dan sekelilingnya. Faham itu terus dianut walau mereka sudah menjadi orang Islam. Karena ketika faham Qadariyah dikembangkan,mereka tidak bisa menerimanya. Faham Qadariyah dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
            Kedua, tantangan dari pemerintahan pada waktu itu. Tantangan ini bisa saja terjadi karena rapa pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Tetapi ada juga kemungkinan bahwa Pejabat Pemerintahan menganut Faham Qadariyah sebagai usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat.

2.Doktrin-doktrin Qadariyah

            Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan mengenai Qadariyah di satukan dengan doktrin-doktrin Mu’tazilah. Sehinggga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.[14] Doktrin Qadariyah lebih luas di bahas lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini percaya  bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[15]
            Harun Nasution menjelasakan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan  baik atas kehendak dan kekuasaannya dan manusia sejndiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat ataskemauan dan dayanya sendiri.[16] An-Nazzam mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai dya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.[17]
            Dapat dipahami bahwa faham Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakanya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun perbuatan yang jahat. Makanya, Ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukanyadan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
            Faham takdir dalam pandangan Qadariyah adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak Azali, yaitu hukum yang dalam Al-Quran adalah Sunnatullah.
            Keyakinan tauhid tanpa penalaran bukan termasuk iman. Maksudnya, bahwa pengetahuan awal yaitu mengenal Allah, bersifat obligatoris, maksudnya alamiah. Oleh karena itu, ia bukan termasuk keimanan bahwa didapat melalui penalarnan dan pembuktian, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Asy’ari.
            Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam , mengemukakan pokok-pokok ajaran Qadariyah itu adalah:
1.     Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasiq dan masuk neraka.
2.     Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia.
3.     Yang menciptakan amal perbuatannya. Jika amalnya baik maka akan masuk surga, Allah tidak mempunyai sifat-sifat Azaly, seperti Ilmu,Kudrat,hayat,mendengar,melihat yang bukan dengan zat-Nya sendiri. Menurut mereka Allah itu mengetahui,berkuasa,hidup,mendengar,dan melihat dengan Zat-Nya sendiri.
4.     Bahwa akal manusia mampu mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik.
3.Tokoh dan Ajaran Qadariyah

a.     Ajaran Ma’bad al-Juhaini
Perbuatan manusia diciptakan atsa kehendaknya sendiri oleh karena itu ia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tuhan sama sekali tidak ikut berperan serta dalam perbuatan manusia. Bahkan Tuhan sebelumnya tidak mengetahui apa yang mau dilakukan oleh manusia. Kecuali setelah perbuatan itu dilakukan, barulah Tuhan mengetahuinya.
b.     Ajaran Ghailan al-Dimasyqi
1.     Manusia menentukan perbuatannya dengan kemauannya dan mampu berbuat baik dan buruk tanpa campur  tangan Tuhan. Iman adalah mengetahui dan mengakui Allah dan Rasul-Nya,sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
2.      Al-Quran itu Makhluk.
3.     Allah tidak mempunyai sifat.
4.     Iman adalah hak semua orang bukan dominasi Quraisy, asal cakap berpegang teguh pada Al-Quran dan Al-Sunnah.[18]
            4.Dalil-Dalil Qadariyah
                        Banyak ayat-ayat Al-Quran yang dapat mendukung kepada faham Qadariyah umpamanya:
و قل ا لحق من ر بكم فمن شاء فليؤ من و من شاء فليكفر                                                    
Artinya: “Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu: Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia berfikir”. (Al Kahfi [18]: 29)
ان الله لأ يغير ما يقو حتى يغيروا ما بأ نفسهم[19]                                     
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak meroboh keadaan sesuatu kaum sehingga mereka meroboh keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. “ (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11)
ا و لما ا صا بتكم مصيبة قد أ صبتم مثليها قلتم أ نى هذا قل هو من عند أنفسهم[20]         
Artinya: “Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal telah mendapat kemenangan dua kali (pada Perang Badar), lalu kamu berkata: Dari manakah bahaya ini? Katakanlah, sebabnya dari kesalahan kamu sendiri. “

            Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka, artinya bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri. Manusia tidak dikendalikan seperti wayang yang digerakkan oleh dalang tetapi dapat dipilih.
و من يكسب اثما فا نما يكسبه على نفسه وكان الله عليما حكيما[21]               
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha mengrtahui lagi Maha Bijiksana. “
اعملوا ما شئم انه بما تعملون بصير[22]                                  
Artinya: “Buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat. “
ما كا نوا ليؤمنوا الأ ان يشاء ا لله[23]                                        
Artinya: “ Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekiranya Allah tidak menghendaki.”
و ا لله خلقكم و ما تعملون[24]                                           
Artinya: “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.”
ومااصاب من مصيبة فى الأرض ولأفى انفسكم الأفى كتاب من قبل ان نبر اها[25]         
Artinya: “Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah (ditentukan) di dalam buku sebelum kami wujudkan.”

                   Sungguhpun demikian aliran tersebut tidaklah berjalan mulus begitu saja tanpa adanya tantangan-tantangan. Banyak kritik ditujukan kepadanya, tetapi para pengikutnya rupanya tidak begitu surut, sebab faham Qadariyah dianggap lebih rasional.
                  

   

BAB III
PENUTUP
a.     Kesimpulan
            Qadariyah merupakan faham yang percaya bahwa tindakan manusia tidak diintervensi dengan Tuhan. Faham ini percaya bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan dan meninggalkan perbuatannya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas  kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk. Manusia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannnya dan dia berhak mendapatkan hukuman atas apa yang dilanggarnya. Faham Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada Tuhan. Faham ini dalam pengajarannya tidak berjalan mulus, tetapi faham ini mendapatkan tantangan yang begitu besar. Faham Qadariyah lebih dianggap rasional yang lambat laun diteruskan oleh Mu’tazilah yang berupaya menjunjung tinggi martabat manusia sebagai khalifah fi al-ardl, yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, dan tidak berupaya mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak.

A.    Saran
            Dari kesimpulan tersebut dapat kita ambil pelajaran mengenai faham qadariyah, kita sebagai umat islam yang mempunyai pedoman masing-masing haruslah berpegang teguh pada ajaran masing-masing yang di anut, agar keselarasan dalam umat muslim beragama dapat terjalin dengan baik.

 
DAFTAR PUSTAKA

·       Rozak, Abdul. dan Anwar, Rosihon. Ilmu Kalam. Pustaka Setia. Bandung: 2003.
·       Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Ilmu Kalam. IAIN Sunan Ampel Press Surabaya. Surabaya: 2011.
·       Nasution, Harun. Teologi Islam. Universitas Indonesia Press. Jakarta: 1986.


[1]  Luwis Ma’luf Al-Yusu’i, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, Beirut, 1945, hlm. 436:lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Writen Arabic, Wlesbanden, 1971, hlm.745.
[2]  Al-Yusu’i, op.cit, hlm.436.
[3]  Nasution, Teologi Islam........hlm.31.
[4]  W. Montgomery Watt, Islamic Philophy and Theology: An Extended Survey, Harrassowitz, Edinburgh Univercity, 1992, hlm.25.
[5]  Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah Li ashhabihah Hasan Muhammad wa Auladhihi, Kairo, hlm.284.
[6]  Hadits ini terdapat dalam Sunan Abu Daud, “Kitab As-Sunnah, “bab 16, Fi Al-Qadr, dan dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Juz II liafadz Al-Hadits An-Nabawi, Juz V, E.J. Brill, Leiden, 1965, hal 318.
[7]  Ahmad Amin, op.cit, hlm.284
[8]  Ibid.
[9]  Ibid.
[10]  Ibid.



[11]  Watt, op.cit, hlm.25.
[12]  Ibid.. hlm.28.
[13]  Ahmad Amin, op. Cit. Hlm. 286..
[14]  Asy-Syahratani, op. Cit.. hlm. 85.
[15]  Ahmad Amin, op. Cit., hlm. 287.
[16]  Harun Nasution . Tologi Islam, hlm.31.
[17]  Al-Ghurabi, op. Cit., hlm.201
[18]  Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. (Mesir : Maktabah wa Mathba’ah Muhammad AliSabih wa Auladih, t.t), 34-35
[19] . Q.S. Ali Imran : 165
[20]  Ali ‘Imran, (3) – 164.
[21]  Q.S. An-Nisa, (4) - 111
[22]  Fussilat, (41) – 40.
[23]  Al-An’am, (6) – 112.
[24]  Al-Saffat, (37) - 96
[25]  Al-Hadid, (57) - 22

0 komentar on "PEMIKIRAN TEOLOGI AL-QADARIYAH"

Posting Komentar

PEMIKIRAN TEOLOGI AL-QADARIYAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
            Faham Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa Arab, Manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak azal terhadap dirinya. Adapun dalam faham Qadariyah, Takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak azal.
            Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Aliran qadariyah menyatakan bahwa semua tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri, Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk. Karena itu,
Ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula menerima hukuman atas kejahatan yang dilakukannya.

B.     Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang diatas,kita dapat mengambil beberapa Rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:
1.     Apa pengertian dari faham qadariyah?
2.     Jelaskan Asal-usul munculnya faham qadariyah?
3.     Jelaskan Doktrin-doktrin yang terkandung dalam faham qadariyah?

C.     Tujuan
1.     Agar dapat memahami dan mengerti pengertian dari faham qadariyah
2.     Agar dapat mengerti asal-usul faham qadariyah
3.     Agar dapat mengetahui doktrin-doktrin faham qadariyah


BAB II
PEMBAHASAN
A.QADARIYAH
1.    Pengertian dan Asal Usul Kemunculan Qadariyah
            Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.[1] Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya: Ia dapat  berbuat sesuatu  atau meninggalkannya  atas kehendaknya sendiri.[2]  Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi  penekanan atas kebebasan dan  kekuatan manusia dalam mewujudkan  perbuatan-perbuatannya. Dalam Hal ini Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa  manusia mempunyai qudrah  atu kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[3]
            Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.[4] Menurut Ahmad Amin, Sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.[5] Hadits itu berbunyi:
ا لقدرية مجوس هذه الأمة                                                   
Artinya: “ Kaum Qadariyah adalah majusiyah umat ini.[6]
            Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimassyqy.[7] Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri.[8] Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maulana Usman bin Affan.[9]
            Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti  dikutip Ahmad Amin, memberikan informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah  adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Maka dari sinilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini .[10]
            Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al Basri percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk.[11]
            Ma’bad Al Juhaini dan Ghailan ad-Dimasyqi,menurut Watt,adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri.[12] Kalau dihubungkan  dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’ti’dal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibn Nabatah dalam Syahrul Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang Irak Kristen yang masuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah rekayasa yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan fikiran Qadariyah.
            Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya faham qadariyah muncul, ada baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Banyak peneliti yang tidak menyetujui mengenai hal ini di karenakan penganut Qadariyah pada saat itu terlalu banyak. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat ini di perkuat oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari Irak yang telah masuk Islam dan pendapatnya itu di ambil oleh Ma’bad Al-Juhaini dan Ghailan Ad-Dimasyqi. Sedangkan ada yang berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak di pekerjakan di Istana-istana Khalifah pada saat itu.[13]
            Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam pada saat itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, Karena masyarakat Arab sebelum Islam Kelihatanya dipengaruhi oleh faham fatalis. Pada saat itu kehidupan bangsa Arab mengalami kepayahan. Mereka pada saat itu hidup dengan sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang di timbulkan oleh alam dan sekelilingnya. Faham itu terus dianut walau mereka sudah menjadi orang Islam. Karena ketika faham Qadariyah dikembangkan,mereka tidak bisa menerimanya. Faham Qadariyah dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
            Kedua, tantangan dari pemerintahan pada waktu itu. Tantangan ini bisa saja terjadi karena rapa pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Tetapi ada juga kemungkinan bahwa Pejabat Pemerintahan menganut Faham Qadariyah sebagai usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat.

2.Doktrin-doktrin Qadariyah

            Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan mengenai Qadariyah di satukan dengan doktrin-doktrin Mu’tazilah. Sehinggga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.[14] Doktrin Qadariyah lebih luas di bahas lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini percaya  bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[15]
            Harun Nasution menjelasakan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan  baik atas kehendak dan kekuasaannya dan manusia sejndiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat ataskemauan dan dayanya sendiri.[16] An-Nazzam mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai dya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.[17]
            Dapat dipahami bahwa faham Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakanya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun perbuatan yang jahat. Makanya, Ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukanyadan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
            Faham takdir dalam pandangan Qadariyah adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak Azali, yaitu hukum yang dalam Al-Quran adalah Sunnatullah.
            Keyakinan tauhid tanpa penalaran bukan termasuk iman. Maksudnya, bahwa pengetahuan awal yaitu mengenal Allah, bersifat obligatoris, maksudnya alamiah. Oleh karena itu, ia bukan termasuk keimanan bahwa didapat melalui penalarnan dan pembuktian, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Asy’ari.
            Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam , mengemukakan pokok-pokok ajaran Qadariyah itu adalah:
1.     Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasiq dan masuk neraka.
2.     Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia.
3.     Yang menciptakan amal perbuatannya. Jika amalnya baik maka akan masuk surga, Allah tidak mempunyai sifat-sifat Azaly, seperti Ilmu,Kudrat,hayat,mendengar,melihat yang bukan dengan zat-Nya sendiri. Menurut mereka Allah itu mengetahui,berkuasa,hidup,mendengar,dan melihat dengan Zat-Nya sendiri.
4.     Bahwa akal manusia mampu mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik.
3.Tokoh dan Ajaran Qadariyah

a.     Ajaran Ma’bad al-Juhaini
Perbuatan manusia diciptakan atsa kehendaknya sendiri oleh karena itu ia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tuhan sama sekali tidak ikut berperan serta dalam perbuatan manusia. Bahkan Tuhan sebelumnya tidak mengetahui apa yang mau dilakukan oleh manusia. Kecuali setelah perbuatan itu dilakukan, barulah Tuhan mengetahuinya.
b.     Ajaran Ghailan al-Dimasyqi
1.     Manusia menentukan perbuatannya dengan kemauannya dan mampu berbuat baik dan buruk tanpa campur  tangan Tuhan. Iman adalah mengetahui dan mengakui Allah dan Rasul-Nya,sedangkan amal perbuatan tidak mempengaruhi iman.
2.      Al-Quran itu Makhluk.
3.     Allah tidak mempunyai sifat.
4.     Iman adalah hak semua orang bukan dominasi Quraisy, asal cakap berpegang teguh pada Al-Quran dan Al-Sunnah.[18]
            4.Dalil-Dalil Qadariyah
                        Banyak ayat-ayat Al-Quran yang dapat mendukung kepada faham Qadariyah umpamanya:
و قل ا لحق من ر بكم فمن شاء فليؤ من و من شاء فليكفر                                                    
Artinya: “Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu: Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia berfikir”. (Al Kahfi [18]: 29)
ان الله لأ يغير ما يقو حتى يغيروا ما بأ نفسهم[19]                                     
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak meroboh keadaan sesuatu kaum sehingga mereka meroboh keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. “ (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11)
ا و لما ا صا بتكم مصيبة قد أ صبتم مثليها قلتم أ نى هذا قل هو من عند أنفسهم[20]         
Artinya: “Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal telah mendapat kemenangan dua kali (pada Perang Badar), lalu kamu berkata: Dari manakah bahaya ini? Katakanlah, sebabnya dari kesalahan kamu sendiri. “

            Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka, artinya bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri. Manusia tidak dikendalikan seperti wayang yang digerakkan oleh dalang tetapi dapat dipilih.
و من يكسب اثما فا نما يكسبه على نفسه وكان الله عليما حكيما[21]               
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha mengrtahui lagi Maha Bijiksana. “
اعملوا ما شئم انه بما تعملون بصير[22]                                  
Artinya: “Buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat. “
ما كا نوا ليؤمنوا الأ ان يشاء ا لله[23]                                        
Artinya: “ Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekiranya Allah tidak menghendaki.”
و ا لله خلقكم و ما تعملون[24]                                           
Artinya: “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.”
ومااصاب من مصيبة فى الأرض ولأفى انفسكم الأفى كتاب من قبل ان نبر اها[25]         
Artinya: “Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah (ditentukan) di dalam buku sebelum kami wujudkan.”

                   Sungguhpun demikian aliran tersebut tidaklah berjalan mulus begitu saja tanpa adanya tantangan-tantangan. Banyak kritik ditujukan kepadanya, tetapi para pengikutnya rupanya tidak begitu surut, sebab faham Qadariyah dianggap lebih rasional.
                  

   

BAB III
PENUTUP
a.     Kesimpulan
            Qadariyah merupakan faham yang percaya bahwa tindakan manusia tidak diintervensi dengan Tuhan. Faham ini percaya bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan dan meninggalkan perbuatannya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas  kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk. Manusia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannnya dan dia berhak mendapatkan hukuman atas apa yang dilanggarnya. Faham Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada Tuhan. Faham ini dalam pengajarannya tidak berjalan mulus, tetapi faham ini mendapatkan tantangan yang begitu besar. Faham Qadariyah lebih dianggap rasional yang lambat laun diteruskan oleh Mu’tazilah yang berupaya menjunjung tinggi martabat manusia sebagai khalifah fi al-ardl, yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, dan tidak berupaya mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak.

A.    Saran
            Dari kesimpulan tersebut dapat kita ambil pelajaran mengenai faham qadariyah, kita sebagai umat islam yang mempunyai pedoman masing-masing haruslah berpegang teguh pada ajaran masing-masing yang di anut, agar keselarasan dalam umat muslim beragama dapat terjalin dengan baik.

 
DAFTAR PUSTAKA

·       Rozak, Abdul. dan Anwar, Rosihon. Ilmu Kalam. Pustaka Setia. Bandung: 2003.
·       Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Ilmu Kalam. IAIN Sunan Ampel Press Surabaya. Surabaya: 2011.
·       Nasution, Harun. Teologi Islam. Universitas Indonesia Press. Jakarta: 1986.


[1]  Luwis Ma’luf Al-Yusu’i, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, Beirut, 1945, hlm. 436:lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Writen Arabic, Wlesbanden, 1971, hlm.745.
[2]  Al-Yusu’i, op.cit, hlm.436.
[3]  Nasution, Teologi Islam........hlm.31.
[4]  W. Montgomery Watt, Islamic Philophy and Theology: An Extended Survey, Harrassowitz, Edinburgh Univercity, 1992, hlm.25.
[5]  Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah Li ashhabihah Hasan Muhammad wa Auladhihi, Kairo, hlm.284.
[6]  Hadits ini terdapat dalam Sunan Abu Daud, “Kitab As-Sunnah, “bab 16, Fi Al-Qadr, dan dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Juz II liafadz Al-Hadits An-Nabawi, Juz V, E.J. Brill, Leiden, 1965, hal 318.
[7]  Ahmad Amin, op.cit, hlm.284
[8]  Ibid.
[9]  Ibid.
[10]  Ibid.



[11]  Watt, op.cit, hlm.25.
[12]  Ibid.. hlm.28.
[13]  Ahmad Amin, op. Cit. Hlm. 286..
[14]  Asy-Syahratani, op. Cit.. hlm. 85.
[15]  Ahmad Amin, op. Cit., hlm. 287.
[16]  Harun Nasution . Tologi Islam, hlm.31.
[17]  Al-Ghurabi, op. Cit., hlm.201
[18]  Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. (Mesir : Maktabah wa Mathba’ah Muhammad AliSabih wa Auladih, t.t), 34-35
[19] . Q.S. Ali Imran : 165
[20]  Ali ‘Imran, (3) – 164.
[21]  Q.S. An-Nisa, (4) - 111
[22]  Fussilat, (41) – 40.
[23]  Al-An’am, (6) – 112.
[24]  Al-Saffat, (37) - 96
[25]  Al-Hadid, (57) - 22

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

 

ChieZcHuA ChUtEzZ Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal