BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bab ini menjelaskan tentang
filsafat postmodernisme sejak awal kemunculannya hingga perkembangan mutakhir.
Tujuannya adalah untuk memotret perjalanan sebuah pemikiran secara utuh
sehingga diperoleh pemahaman komprehensif. Untuk
menghindari kebingungan yang lebih lanjut, maka penulis akan membahas
postmodernisme secara lebih gamblang dalam pembahasan makalah ini. Untuk tujuan
tersebut, Yang pertama, pembahasan dimulai dengan mengulas pengertian
postmodernisme, “penyimpangan” modernisme yang menjadi konteks lahirnya
postmodernisme, para filsuf postmodernisme, realitas sosial yang ingin
dijelaskan, perkembangan terkini pemikiran tersebut, dan kritik terhadap postmodernisme.
Yang kedua adalah mengenai ciri atau indikator dari pada postmodernisme. Serta
yang ketiga adalah mengenani fenomena faktual yang terkait dengan
postmodernisme. Sebuah tinjauan kritis diberikan pada akhir tulisan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Postmodernisme
1. Pengertian
Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan
perbedaan arti. Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran
total dari segala pola kemodernan.[1] David Griffin,
mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan.[2] Sementara menurut Tony
Cliff, postmodernisme berarti suatu teori
yang menolak teori.[3]
Istilah postmodernisme
pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun 1930-an untuk
menyebutkan gerakan kritik di bidang sastra, khusunya sastra Prancis dan
Amerika Latin. Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditanai
perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya
rasionalisme dan pencerahan. Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai Kian berkembangnya
kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan
dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan
keinginan.[4]
Sementara menurut Frederic Jameson, mengartikan postmodernisme adalah logika
kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya.[5]
Pemikiran
Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya
tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi besar”
seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar dan sebagainya. Dengan pandangan
macam itulah, Lyotard membawa istilah “postmodernisme” kedalam medan diskusi
filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala kritik atas pengetahuan universal,
atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan
dengan ”postmodernisme”. Oleh sebab itu. Istilah “postmodernisme” di bidang
filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekedar istilah yang
memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain
berbeda. Dengan demikian istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala
bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada
umumnya”.[6]
2. Filsuf Awal Postmodernisme
Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya
postmodernisme sebenarnya dapat dilacak pada filsafat Soren Kierkegaard
(1813-1855), yang menentang rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk akal
yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu.
Sementara itu, Horkheimer
dan Adorno dalam buku Dialectic of Enlightment (1979), menegaskan
bahwa “rasionalitas pencerahan adalah logika dominasi dan penindasan”.[7] Horkheimer dan Adorno mengungkapkan dilema rasionalitas
dengan pernyataan seperti ini: “Akal pencerahan telah mengubah rasionalitas
menjadi irasionalitas dan penipuan karena ia memberangus cara-cara berfikir
yang lain dan mengaku sebagai satu-satunya dasar kebenaran”.[8]
Di sini Nietzsche (1844-1900) jelas menolak pengetahuan
yang mengandung kebenaran yang berlaku bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan
saja, karena pengetahuan itu bukan persoalan penemuan sejati, melainkan perkara
konstruksi interpretasi-interpretasi tantang dunia yang dianggap benar.
Di samping Kierkegaard, dan Nietzsche, Martin Heidegger
(1889-1976) dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis
terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi
berfikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan
hal-ihwal: tetapi manusia adalah desain, ia “ada dalam dunia”. Hubungan
manusia dengan kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subjek
memahami objek.[9]
Kritik-kritik postmodernisme di atas secara umum dapat
dipahami sebagai gerakan untuk menuntut agar narasi-narasi universal atau
metanaratif memberi jalan pada lokalitas. Setiap pengetahuan memiliki ruang
kompetensinya sendiri. Penolakan terhadap klaim totalitarianisme, menghadirkan
pencerahan dalam pemikiran postmodernisme, seperti munculnya konsepsi
heterogenitas, budaya lokal, etnis, ras, the others, kelompok tertindas
dan terpinggirkan, dan lain-lain.
B. INDIKATOR POSTMODERNISME
akbar S. Ahmed dalam bukunya Posmodernisme dan Islam menyebutkan delapan karakter sosiologis
postmodernisme yang menonjol, yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara
kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang
bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme
relativisme kebenaran. Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia
bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada
urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media
massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian
perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa
disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi. Tiga, munculnya
radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau
alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi
dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia,
tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan. Empat, munculnya
kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan
rasionalisme dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah
perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah
pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas
negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak
pada “lingkaran pinggir”. Enam, semakin terbukanya peluang bagi
klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas.
Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses
demokratisasi. Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya
kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai
wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk
ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Delapan, bahasa
yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan
ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era
postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
Sedangkan menurut Pauline
Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme menganggap modernisme telah gagal
dalam beberapa hal penting antara lain :
Pertama, modernisme gagal mewujudkan
perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya. Kedua,
ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan
dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang
seringkali mendahului hasil penelitian. Ketiga, ada semacam kontradiksi
antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada
semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar, bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang
dihadapi manusia dan lingkungannya. Ternyata keyakinan ini keliru
manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan
terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan Kelima,
ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik
eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Postmodernisme muncul untuk
“meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu
postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya
identitas lain (the other) yang berada di luar wacana hegemoni.
Postmodernisme mencoba
mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan
pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa
proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak
“sentral”)
Postmodernisme mengajak kaum
kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan
peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal
yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai
penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme sebagai suatu
gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat
yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk
tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu
“dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa
kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya
gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai
hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme
dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini
adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu:
- Kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme;
- Modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
- Erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Marxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas inilah yang
barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme.
Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat
dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan
solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan
lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk
lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara
sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.
C. ANALISIS FENOMENA FAKTUAL
Jika
kita melihat dan menelaah konteks politik hari ini, masalah postmoderrnisme
juga kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki semua
Negara menerapkan sistem demokrasi. Namun demokrasi yang diperjualbelikan
adalah demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis. Amerika
serikat juga didaulat, jika tidak pantas disebut mendaulatkan diri, sebagai
Negara penjunjung tinggi HAM.
Untuk
dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem demokrasi
harus dianut terlebuh dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin menghargai Hak
Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika Serikat. Sebab
Amerika Serikat lagi-lagi dianggap sebagai Negara terdepan pengimplementasi
demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam peraturan lembaga
internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi anggota United nation
diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.
Tidak
ada masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM.
Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk
menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, mereka telah menafikan sistem
lain seperti Kerajaan Khilafah dan sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi
merupakan satu-satunya jalan, maka Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM
harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau
menjunjung tinggi HAM (menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh
lembaga tertinggi dunia tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari
embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat manusia.
Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut
sebagai akibat dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu cirri
penting, yaitu universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga
karakter penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti
salah). Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka
sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah.
Postmodernisme
lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek mahabesar modernism tersebut.
Universalisme yang ditawarkan oleh modernism tidak mungkin bias tercapai, sebab
dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan keanekaragaman baik dalam hal ekonomi,
social, politik dan terlebih lagi budaya. Merupakan sebuah kemustahilan
jika kita ingin membuat semua Negara yang penuh dengan warna dan perbedaan
tersebut hidup dengan satu cara yang sama.
Berkaitan
dengan masalah HAM juga demikian halnya. Amerika serikat mengaku sebagai penjunjung
tinggi Ham, tetapi mereka pulalah yang membunuh puluhan bahkan ratusan ribu
rakyat sipil di Irak. Amerika pulalah yang membuat dan menghidupkan penjara Guantanamo, yang notabene
pelanggaran besar terhadap HAM. Dengan label menjunjung tinggi HAM pulalah,
amerika serikat kerap melakukan genosida (pembunuhan secara massal). Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah, dimana HAM yang dijunjung tinggi tersebut.
Selain
hal tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik oleh
postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam dunia
ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh yang paling
sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan agama. Semua
budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna masing-masing.
Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran tersendiri. Tidak ada
agama yang salah dan agama yang benar, namun semua agama memiliki dan membawa
kebenarannya.
Demikian
jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap Negara.
Demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran, tetapi sistem
kerajaan yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya sendiri. Begitu
juga dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik local /
identitas misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi.
Untuk
mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada tersebut. Maka
postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi. Bahwa semua bias
hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip Multikulturalisme. Atau
jika kita melihat Negara Indonesia
misalnya, ada istilah Bhineka Tungggal Ika (walaupun berbeda-beda, tetapi tetap
satu jua).
PENUTUP
Menurut Pauline Rosenau (1992)
mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara
lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan
kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik
segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: akumulasi pengalaman
peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara
bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas
modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi
liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria
evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung
menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view),
metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang
memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan
atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan
dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak
ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara
perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita
lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri.
Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka
selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi
tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung
menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi,
refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika,
tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik.
Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama
pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmodern menolak
kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu
seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan
realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu
atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal
yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk
fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya
diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan
pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih
membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga
cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan
pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan
perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau
(1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for
granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan,
ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan,
ketradisionalan, kesintingan, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan,
keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran,
diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan. Dari beberapa pendapat tersebut di
atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari
determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity).
Secara lebih umum, Bauman (1992:31)
menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah
perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara
universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, didominasi oleh media dan
pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah
tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98)
menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari
kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan
kejelasan tunggal akan keseragaman. Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan
terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas
yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya,
untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali
tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan
kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara
kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap
kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan
ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat
postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa
masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1)
masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2)
ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada
sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan
pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern
dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis
multinasional.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori
Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya
dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
Jones, Pip. 2009. Pengantar
Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme.
Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Ritzer, George. 2004. Teori
Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta
Santoso,
Listiyono. 2009. Postmodernisme: Kritik atas Epistemologi Modern (dalam “Epistemologi Kiri”). Ar Ruzz Media Cetakan Ke-VI
http://librarianship-umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-postmodernisme-dalam.html#uds-search-results
diakses pada tanggal 27 Agustus 2010
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/
diakses pada tanggal 27 Agustus 2010
http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme
diakses pada tanggal 27 Agustus 2010
[1] Jean
Francois Lyotard, The Postmodernisme
Conditional: A Reporton Knowledge (1984)
[2] David
Ray Griffin, The Re-enchanment of Science: Postmodernisme
Proposal (Albani: State University of New York, 1988)
[3]
“http://en.wikipedia.org/wiki/ postmodernisme”
[4] Daniel
Bell,”Beyond Modernism: Beyond Self”, dalam Sociological Journey,
(London: Heineman, 1980)
[5] Frederic Jameson dalam “New Left Review”
tahun 1984
[6] Cultural
and society Vol. 5, 1988, hlm. 195-213
[8] Chris
Barker, Cultural Studies….hlm. 199.
0 komentar on "MAKALAH POSTMODERNISME"
Posting Komentar