Senin, 09 Desember 2013

MAKALAH POSTMODERNISME

Diposting oleh Unknown di 08.35


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bab ini menjelaskan tentang filsafat postmodernisme sejak awal kemunculannya hingga perkembangan mutakhir. Tujuannya adalah untuk memotret perjalanan sebuah pemikiran secara utuh sehingga diperoleh pemahaman komprehensif. Untuk menghindari kebingungan yang lebih lanjut, maka penulis akan membahas postmodernisme secara lebih gamblang dalam pembahasan makalah ini. Untuk tujuan tersebut, Yang pertama, pembahasan dimulai dengan mengulas pengertian postmodernisme, “penyimpangan” modernisme yang menjadi konteks lahirnya postmodernisme, para filsuf postmodernisme, realitas sosial yang ingin dijelaskan, perkembangan terkini pemikiran tersebut, dan kritik terhadap postmodernisme. Yang kedua adalah mengenai ciri atau indikator dari pada postmodernisme. Serta yang ketiga adalah mengenani fenomena faktual yang terkait dengan postmodernisme. Sebuah tinjauan kritis diberikan pada akhir tulisan ini.




  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Postmodernisme
1.       Pengertian
Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan.[1] David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan.[2] Sementara menurut Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori.[3]
Istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun 1930-an untuk menyebutkan gerakan kritik di bidang sastra, khusunya sastra Prancis dan Amerika Latin. Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditanai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan. Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan.[4] Sementara menurut Frederic Jameson, mengartikan postmodernisme adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya.[5]
Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar dan sebagainya. Dengan pandangan macam itulah, Lyotard membawa istilah “postmodernisme” kedalam medan diskusi filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan dengan ”postmodernisme”. Oleh sebab itu. Istilah “postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekedar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain berbeda. Dengan demikian istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”.[6]
2. Filsuf Awal Postmodernisme
Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme sebenarnya dapat dilacak pada filsafat Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu.
Sementara itu, Horkheimer  dan Adorno dalam buku Dialectic of Enlightment (1979), menegaskan bahwa “rasionalitas pencerahan adalah logika dominasi dan penindasan”.[7] Horkheimer  dan Adorno mengungkapkan dilema rasionalitas dengan pernyataan seperti ini: “Akal pencerahan telah mengubah rasionalitas menjadi irasionalitas dan penipuan karena ia memberangus cara-cara berfikir yang lain dan mengaku sebagai satu-satunya dasar kebenaran”.[8]
Di sini Nietzsche (1844-1900) jelas menolak pengetahuan yang mengandung kebenaran yang berlaku bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, karena pengetahuan itu bukan persoalan penemuan sejati, melainkan perkara konstruksi interpretasi-interpretasi tantang dunia yang dianggap benar.
Di samping Kierkegaard, dan Nietzsche, Martin Heidegger (1889-1976) dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berfikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan hal-ihwal: tetapi manusia adalah desain, ia “ada dalam dunia”. Hubungan manusia dengan kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subjek memahami objek.[9]
Kritik-kritik postmodernisme di atas secara umum dapat dipahami sebagai gerakan untuk menuntut agar narasi-narasi universal atau metanaratif memberi jalan pada lokalitas. Setiap pengetahuan memiliki ruang kompetensinya sendiri. Penolakan terhadap klaim totalitarianisme, menghadirkan pencerahan dalam pemikiran postmodernisme, seperti munculnya konsepsi heterogenitas, budaya lokal, etnis, ras, the others, kelompok tertindas dan terpinggirkan, dan lain-lain.

B.    INDIKATOR POSTMODERNISME
akbar S. Ahmed dalam bukunya Posmodernisme dan Islam menyebutkan delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran. Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi. Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan. Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”. Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi. Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain :
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian. Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar, bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya. Ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Postmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain (the other) yang berada di luar wacana hegemoni.
Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu:
  1. Kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme;
  2. Modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
  3. Erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Marxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

C.    ANALISIS FENOMENA FAKTUAL
Jika kita melihat dan menelaah konteks politik hari ini, masalah postmoderrnisme juga kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki semua Negara menerapkan sistem demokrasi. Namun demokrasi yang diperjualbelikan adalah demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis. Amerika serikat juga didaulat, jika tidak pantas disebut mendaulatkan diri, sebagai Negara penjunjung tinggi HAM.
Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem demokrasi harus dianut terlebuh dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika Serikat. Sebab Amerika Serikat lagi-lagi dianggap sebagai Negara terdepan pengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam peraturan lembaga internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi anggota United nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.
 Tidak ada masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, mereka telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan Khilafah dan sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM (menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat manusia.
Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu cirri penting, yaitu universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah). Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah.
Postmodernisme lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek mahabesar modernism tersebut. Universalisme yang ditawarkan oleh modernism tidak mungkin bias tercapai, sebab dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan keanekaragaman baik dalam hal ekonomi, social, politik  dan terlebih lagi budaya. Merupakan sebuah kemustahilan jika kita ingin membuat semua Negara yang penuh dengan warna dan perbedaan tersebut hidup dengan satu cara yang sama.
Berkaitan dengan masalah HAM juga demikian halnya. Amerika serikat mengaku sebagai penjunjung tinggi Ham, tetapi mereka pulalah yang membunuh puluhan bahkan ratusan ribu rakyat sipil di Irak. Amerika pulalah yang membuat dan menghidupkan penjara Guantanamo, yang notabene pelanggaran besar terhadap HAM. Dengan label menjunjung tinggi HAM pulalah, amerika serikat kerap melakukan genosida (pembunuhan secara massal). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dimana HAM yang dijunjung tinggi tersebut.
Selain hal tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik oleh postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam dunia ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh yang paling sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan agama. Semua budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna masing-masing. Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang benar, namun semua agama memiliki dan membawa kebenarannya.
Demikian jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap Negara. Demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran, tetapi sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya sendiri. Begitu juga dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik local / identitas misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi.
Untuk mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada tersebut. Maka postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi. Bahwa semua bias hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip Multikulturalisme. Atau jika kita melihat Negara Indonesia misalnya, ada istilah Bhineka Tungggal Ika (walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua).


PENUTUP
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity).
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman. Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.




DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta
Santoso, Listiyono. 2009. Postmodernisme: Kritik atas Epistemologi Modern (dalam “Epistemologi Kiri”). Ar Ruzz Media Cetakan Ke-VI
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2010
http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada tanggal 27 Agustus 2010


[1] Jean Francois Lyotard, The Postmodernisme Conditional: A Reporton Knowledge (1984)
[2] David Ray Griffin, The Re-enchanment of Science: Postmodernisme Proposal (Albani: State University of New York, 1988)
[3] “http://en.wikipedia.org/wiki/ postmodernisme
[4] Daniel Bell,”Beyond Modernism: Beyond Self”, dalam Sociological Journey, (London: Heineman, 1980)
[5] Frederic Jameson dalam “New Left Review” tahun 1984
[6] Cultural and society Vol. 5, 1988, hlm. 195-213
[7] Max Horkheimer dan Theodore W. Adorno, Dialectic of Enlightment(London: Allen Lane, 1973)
[8] Chris Barker, Cultural Studies….hlm. 199.
[9] Donny Gahral Adian, Martin Heidegger (Bandung: TERAJU, 2003), hlm. 88-96.

0 komentar on "MAKALAH POSTMODERNISME"

Posting Komentar

MAKALAH POSTMODERNISME



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bab ini menjelaskan tentang filsafat postmodernisme sejak awal kemunculannya hingga perkembangan mutakhir. Tujuannya adalah untuk memotret perjalanan sebuah pemikiran secara utuh sehingga diperoleh pemahaman komprehensif. Untuk menghindari kebingungan yang lebih lanjut, maka penulis akan membahas postmodernisme secara lebih gamblang dalam pembahasan makalah ini. Untuk tujuan tersebut, Yang pertama, pembahasan dimulai dengan mengulas pengertian postmodernisme, “penyimpangan” modernisme yang menjadi konteks lahirnya postmodernisme, para filsuf postmodernisme, realitas sosial yang ingin dijelaskan, perkembangan terkini pemikiran tersebut, dan kritik terhadap postmodernisme. Yang kedua adalah mengenai ciri atau indikator dari pada postmodernisme. Serta yang ketiga adalah mengenani fenomena faktual yang terkait dengan postmodernisme. Sebuah tinjauan kritis diberikan pada akhir tulisan ini.




  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Postmodernisme
1.       Pengertian
Awalan “post” pada istilah itu banyak menimbulkan perbedaan arti. Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan.[1] David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan.[2] Sementara menurut Tony Cliff, postmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori.[3]
Istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun 1930-an untuk menyebutkan gerakan kritik di bidang sastra, khusunya sastra Prancis dan Amerika Latin. Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditanai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan. Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan.[4] Sementara menurut Frederic Jameson, mengartikan postmodernisme adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya.[5]
Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar dan sebagainya. Dengan pandangan macam itulah, Lyotard membawa istilah “postmodernisme” kedalam medan diskusi filsafat lebih luas. Sejak saat itu segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme, diidentikkan dengan ”postmodernisme”. Oleh sebab itu. Istilah “postmodernisme” di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan memang ambigu; ia menjadi sekedar istilah yang memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain berbeda. Dengan demikian istilah postmodernisme dipahami sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”.[6]
2. Filsuf Awal Postmodernisme
Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme sebenarnya dapat dilacak pada filsafat Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu.
Sementara itu, Horkheimer  dan Adorno dalam buku Dialectic of Enlightment (1979), menegaskan bahwa “rasionalitas pencerahan adalah logika dominasi dan penindasan”.[7] Horkheimer  dan Adorno mengungkapkan dilema rasionalitas dengan pernyataan seperti ini: “Akal pencerahan telah mengubah rasionalitas menjadi irasionalitas dan penipuan karena ia memberangus cara-cara berfikir yang lain dan mengaku sebagai satu-satunya dasar kebenaran”.[8]
Di sini Nietzsche (1844-1900) jelas menolak pengetahuan yang mengandung kebenaran yang berlaku bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, karena pengetahuan itu bukan persoalan penemuan sejati, melainkan perkara konstruksi interpretasi-interpretasi tantang dunia yang dianggap benar.
Di samping Kierkegaard, dan Nietzsche, Martin Heidegger (1889-1976) dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berfikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan hal-ihwal: tetapi manusia adalah desain, ia “ada dalam dunia”. Hubungan manusia dengan kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subjek memahami objek.[9]
Kritik-kritik postmodernisme di atas secara umum dapat dipahami sebagai gerakan untuk menuntut agar narasi-narasi universal atau metanaratif memberi jalan pada lokalitas. Setiap pengetahuan memiliki ruang kompetensinya sendiri. Penolakan terhadap klaim totalitarianisme, menghadirkan pencerahan dalam pemikiran postmodernisme, seperti munculnya konsepsi heterogenitas, budaya lokal, etnis, ras, the others, kelompok tertindas dan terpinggirkan, dan lain-lain.

B.    INDIKATOR POSTMODERNISME
akbar S. Ahmed dalam bukunya Posmodernisme dan Islam menyebutkan delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran. Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi. Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan. Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”. Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi. Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain :
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian. Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar, bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya. Ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Postmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain (the other) yang berada di luar wacana hegemoni.
Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu:
  1. Kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme;
  2. Modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
  3. Erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Marxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

C.    ANALISIS FENOMENA FAKTUAL
Jika kita melihat dan menelaah konteks politik hari ini, masalah postmoderrnisme juga kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki semua Negara menerapkan sistem demokrasi. Namun demokrasi yang diperjualbelikan adalah demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis. Amerika serikat juga didaulat, jika tidak pantas disebut mendaulatkan diri, sebagai Negara penjunjung tinggi HAM.
Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem demokrasi harus dianut terlebuh dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika Serikat. Sebab Amerika Serikat lagi-lagi dianggap sebagai Negara terdepan pengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam peraturan lembaga internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi anggota United nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.
 Tidak ada masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, mereka telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan Khilafah dan sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM (menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat manusia.
Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu cirri penting, yaitu universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah). Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah.
Postmodernisme lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek mahabesar modernism tersebut. Universalisme yang ditawarkan oleh modernism tidak mungkin bias tercapai, sebab dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan keanekaragaman baik dalam hal ekonomi, social, politik  dan terlebih lagi budaya. Merupakan sebuah kemustahilan jika kita ingin membuat semua Negara yang penuh dengan warna dan perbedaan tersebut hidup dengan satu cara yang sama.
Berkaitan dengan masalah HAM juga demikian halnya. Amerika serikat mengaku sebagai penjunjung tinggi Ham, tetapi mereka pulalah yang membunuh puluhan bahkan ratusan ribu rakyat sipil di Irak. Amerika pulalah yang membuat dan menghidupkan penjara Guantanamo, yang notabene pelanggaran besar terhadap HAM. Dengan label menjunjung tinggi HAM pulalah, amerika serikat kerap melakukan genosida (pembunuhan secara massal). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dimana HAM yang dijunjung tinggi tersebut.
Selain hal tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik oleh postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam dunia ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh yang paling sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan agama. Semua budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna masing-masing. Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang benar, namun semua agama memiliki dan membawa kebenarannya.
Demikian jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap Negara. Demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran, tetapi sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya sendiri. Begitu juga dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik local / identitas misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi.
Untuk mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada tersebut. Maka postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi. Bahwa semua bias hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip Multikulturalisme. Atau jika kita melihat Negara Indonesia misalnya, ada istilah Bhineka Tungggal Ika (walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua).


PENUTUP
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity).
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman. Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.




DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta
Santoso, Listiyono. 2009. Postmodernisme: Kritik atas Epistemologi Modern (dalam “Epistemologi Kiri”). Ar Ruzz Media Cetakan Ke-VI
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2010
http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada tanggal 27 Agustus 2010


[1] Jean Francois Lyotard, The Postmodernisme Conditional: A Reporton Knowledge (1984)
[2] David Ray Griffin, The Re-enchanment of Science: Postmodernisme Proposal (Albani: State University of New York, 1988)
[3] “http://en.wikipedia.org/wiki/ postmodernisme
[4] Daniel Bell,”Beyond Modernism: Beyond Self”, dalam Sociological Journey, (London: Heineman, 1980)
[5] Frederic Jameson dalam “New Left Review” tahun 1984
[6] Cultural and society Vol. 5, 1988, hlm. 195-213
[7] Max Horkheimer dan Theodore W. Adorno, Dialectic of Enlightment(London: Allen Lane, 1973)
[8] Chris Barker, Cultural Studies….hlm. 199.
[9] Donny Gahral Adian, Martin Heidegger (Bandung: TERAJU, 2003), hlm. 88-96.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

 

ChieZcHuA ChUtEzZ Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal